Ayah tidak punya telinga, anak tidak punya mulut
Sosok yang paling ku sayangi, sekaligus paling ku benci untuk saat ini
Saat masih kecil, aku sangat jarang bertemu dengannya
Namun setiap kali bertemu, tidak ada ingatan di waktu dia memelukku rindu atau mengajak mengobrol, ingatan ku hanya tentang ketika dia memarahi kami atau memukul saat kami berisik
Tidak ada ingatan baik ku tentang nya di waktu kecil
Pernah suatu hari aku bertengkar hebat dengannya sampai menangis tersedu-sedu, ibulah orang yang menengahi kami dan memintanya untuk menggendongku agar aku berhenti menangis
Sepertinya aku masih usia 5 tahun kala itu
Sampai saat itu, ketia ia sudah berhasil dipindah kerjakan sehingga kami jadi sering bertemu dengannya dirumah
Harapan ku, yess mungkin kita akan bisa lebih akrab lagi nantinya
Dan benar saja, sosok nya yang didulu pemarah mulai berubah bertahap
Selain amarahnya yang kadang tentunya masih ada, aku juga melihat senyum dan tawa nya
Ahh ternyata begini cara nya tertawa, aku paling suka dengan tawa nya
Jika ia tertawa ia akan menampakkan sampai gigi gerahamnya, menyipitkan matanya, namun tidak terdengar suara apapun
Saat itu dalam pikir ku, ahh ternyata ada cara tertawa tanpa terdengar suara seperti ini
Ayah ku adalah orang pertama yang kulihat tertawa tanpa terdengar suara
Sosoknya berubah menjadi ayah sempurna dimataku, sampai beranjak aku duduk si sekolah menengah
Mana ada ayah yang lebih baik dari ini pikir ku
Sampai ketika ibu meninggal, keluarga kami hilang arah
Ayah berubah lagi jadi sosok yang dulu, keras kepala dan tidak mau mengalah
Kadang aku berpikir, apa karna ibu meninggal ataukah memang sifat asli nya yang begini
Benar saja, seingat ku pun dulu selalu ada ibu yang jadi penengah sekaligus batu es yang akan mencairkan kerasnya sifat ayah
Sekarang siapa lagi yang akan jadi batu es itu? Tidak ada
Aku pun memutar otak, sepertinya ayahku tidak bisa jadi orang tua tunggal, karna saat ibu masih adapun ia tidak pernah meluangkan waktunya untuk mendengar cerita atau mengobrol dengan anaknya
Pasti akan ada masalah komunikasi jika dibiarkan begini, pikirku
Aku segera bertanya padanya, "adakah niat untuk menikah lagi?" Tanyaku
Ia menjawab "ada", tapi sepertinya masih ada ketakutan
Tentu saja aku tak berani mendesak, bagaimanapun kalau ayah harus menikah aku ingin dia menikah dengan orang yang benar-benar disukainya
Sampai saat aku tamat kuliah, ayah semakin gencar untuk melarang ku ini dan itu
Pertengkarang terus terjadi, sebagai anak tentu saja tidak bisa membantah, bagaimana pun hasil diskusi kami selalu ditutup dengan kesimpulan ayah selalu benar
Aku sadar sering menyakitinya ketika kami bertengkar, tapi sulit sekali menahannya
Ini juga menyakitkan untuk ku, mana ada anak yang bisa baik-baik saja setelah berteriak lantang kepada orang tua ku satu-satu nya
Tapi siapa yang mengerti aku? Tidak ada
Aku hanya akan di cap sebagai anak nakal yang berani membantah ayah nya, tanpa orang lain tau apa alasannya sampai aku menentang ayahku
Orang lain tidak akan tau, karna anak selalu salah dan ayah selalu benar
Ia selalu berdalih tau yang terbaik untuk ku, ini semua untuk kebahagian ku
Tapi ayah, kenapa aku tidak bahagia ketika bersama mu?
Lama-kelamaan emosi ini menggerogoti ku, bagaimana tidak? Kau bayangkan saja disaat kau berteriak kepada dunia, dunia tidak mau mendengarkan mu
Anak tidak punya mulut untuk bicara dan orang tua tidak punya telinga mendengarkan cerita anaknya
Komentar
Posting Komentar