Pupus
Sudah lama aku tak menulis lagi—
setelah berhari-hari,
mungkin hampir sebulan,
tenggelam dalam kesedihan yang tak kumengerti.
Bodohnya, aku tak tahu pasti
dari mana rasa ini bermula.
Istirahat malamku berkurang,
tiada malam kulalui tanpa tangis,
tanpa suara lirih yang meraung,
mengadu kepada Sang Pencipta:
tentang kecewa,
tentang harapan yang luruh,
tentang rasa terinjak,
dan harga diri yang remuk
dalam satu palung luka.
Kucubit tanganku sedikit,
lalu lebih keras,
dan lebih keras lagi—
hanya untuk menutupi nyeri
yang tak henti muncul di dadaku.
"Kenapa harus aku?"
pertanyaan itu mengapung,
berputar dalam kepalaku.
Di mana letak salahku?
Apakah pernah kulukai seseorang,
hingga kini aku harus menanggung balasannya?
Kesalahannya tertutup rapat
oleh kebaikan yang ia miliki.
Bukannya aku tak sadar...
Namun,
ada rasa yang menahanku
untuk tetap menerimanya.
Aku menutup mata
atas dosa dan lukanya,
demi mendapatkan
perpanjangan waktu
bersama dirinya.
Waktuku kini
banyak kuhabiskan untuk menangis.
Bercerita?
Tak semudah itu...
Maka separuh waktuku
kuhabiskan di atas sajadah,
berbalut mukenah,
menangisi yang tak bisa kuceritakan
pada siapa pun,
kecuali Dia.
Jemaja, 20 Desember 2024
Komentar
Posting Komentar